header ads

Review Film EVEREST (2015)

EVEREST (2015) movie review by Glen Tripollo
Udah lama gue nggak nemu film-film petualangan seru yang ngambil tema mendaki gunung. Kayaknya yang gue inget (krena berkesan) cuma VERTICAL LIMIT (2000) yang mana isi ceritanya tentang sejumlah tim penyelamat pendaki gunung yang berjuang menuju puncak K2 (gunung dengan puncak tertinggi kedua di dunia) demi menyelamatkan seorang gadis yang ternyata adalah adik dari salah satu anggota tim penyelamat tersebut.

Eh, sekarang nongol nih, satu film yang dibuat berdasarkan kisah nyata para pendaki gunung Everest di tahun 1996. Film yang dibuat dengan mengambil referensi dari film dokumenter berdurasi 44 menit berjudul sama yang dirilis pada tahun 1998, yang mana ada nama Liam Neeson di sana yang bertindak sebagai narrator. Selain itu, tulisan Jon Krakauer dalam bukunya "Into Thin Air: A Personal Account of the Mt. Everest Disaster" juga turut menjadi acuan dibuatnya film ini. FYI, sebelumnya di tahun 1997 pun sudah pernah dibuat TV Movie berdasarkan kisah yang sama (dengan judul yang sama dengan buku Jon Krakauer), sayangnya karena keterbatasan budget, film tersebut kurang banyak diminati penonton dan mendapatkan skor rendah di IMDb. TV Movie gitu loh (walaupun kualitasnya masih 5x lebih baik ketimbang FTV dalam negeri saat ini). Dan akhirnya, setelah teknologi makin canggih, Hollywood nyoba nge-remake filmnya dengan memboyong aktor-aktor papan atas dan mengangkatnya ke layar lebar. Berhubung Everest itu jauh lebih tinggi dan mengerikan ketimbang K2, gue berekspektasi cukup tinggi untuk film yang satu ini. Lalu gimana hasilnya? Here we go, simak review film EVEREST (2015) ala gue berikut ini.

EVEREST (2015) menceritakan petualangan sekelompok pendaki gunung yang berjuang untuk mencapai puncak Everest di tahun 1996. Tim tersebut dipimpin oleh Rob Hall (Jason Clarke), seorang pemandu profesional yang mana terpaksa meninggalkan istrinya (Keira Knightley) yang sedang hamil tua demi mencari sesuap nasi dan popularitas, berhubung Jon Krakauer (Michael Kelly) seorang jurnalis terkenal, ikut serta dalam eksepedisi pendakian tersebut. Selain itu, ada tokoh Harold (Martin Henderson) yang terkenal karena pernah mencapai puncak K2, Yasuko Namba (Naoko Mori) yang pernah mendaki 6 puncak gunung tinggi dan berniat menjadikan Everest sebagai puncak ke-7 yang ia ditaklukannya, Beck Weathers (Josh Brolin) orang kaya yang sepertinya belum benar-benar berpengalaman dalam hal mendaki gunung, dan juga Doug Hansen (John Hawkes) yang melakukan pendakian demi membuat bangga anaknya. Sebetulnya masih banyak karakter lainnya, seperti Scott Fisher (Jake Gyllenhaal) pemandu dari agensi yang berbeda dengan Rob Hall, namun karena suatu situasi tak terduga, akhirnya mereka bekerja sama. Nah, perjalanan pendakian sebenarnya berlangsung aman dan terkontrol pada awalnya hingga menuju puncak, sayangnya alam berkata lain. Saat mereka semua berencana turun, terjadi badai salju dahsyat yang membuat mereka semua berjuang untuk bertahan hidup di tengah tebing salju terjal dengan suhu dingin yang membekukan tulang.


Jujur, kalo soal seru, masih lebih seru VERTICAL LIMIT (2000) yang lebih berasa bumbu-bumbu aksinya karena dorongan pace yang cepat dan backsound yang menghentak seru. Di sini, alurnya berlangsung ngalir dengan pace yang agak lambat, namun nggak kehilangan detail per adegannya. Kelebihannya, di sini setiap karakternya tergali dengan cukup baik. Seenggaknya sambil film berjalan, ada adegan-adegan yang terselip, menyoroti para pendaki dengan latar belakang mereka masing-masing yang bikin penonton sedikit demi sedikit merasakan simpati pada setiap tokoh-tokoh. So, apakah film ini seru? Daripada dibilang seru, di sini lebih dramatis. Yes, it's another type of drama, yang dikasih bumbu-bumbu suspense dan petualangan.

Adegan demi adegan yang disajikan juga terbilang realistis. Nggak perlu terlalu banyak bumbu penyedap, kondisi di Everest sendiri sudah cukup mencekam. Kematian demi kematian yang begitu cepat, tanpa ada persiapan apa-apa, tau-tau cuuusss modar, tapi nyeseknya berasa banget. Yes, masih terbayang adegan salah satu tokoh yang dibilangin untuk tunggu dalam diam karena udah keabisan oksigen dan mulai ga sadarkan diri, doi malah bangun sambil berusaha meraih-raih tali pengaman yang ujungnya gagal, terus malah serodotan menjemput ajal. Terus juga adegan salah seorang tokoh yang mendadak berasa kayak kepanasan (saking dingin menusuk udah sampe tulang), malah buka baju di tengah badai salju lalu, serodotan lagi menjemput ajal. Ugh... mata gue langsung membelalak ngeliat adegan-adegan kematian yang begitu cepat dan tak terduga. Walau terasa halus penyajian suspense-nya, film ini agak kurang cocok dinikmati sama kalian yang mungkin punya phobia tersendiri pada ketinggian dan bentangan luas gunung bersalju, atau mungkin juga bagi kalian yang berjantung lemah.


 Alternative posters untuk EVEREST (2015)

Untuk plotnya sendiri, gue sempet baca beberapa review yang mengatakan kalo film ini punya alur yang bertele-tele. Tapi, gue sendiri punya pemikiran dan penilaian yang beda. Film ini sama sekali nggak terasa bertele-tele bagi gue. Film dibuka dengan adegan tim pendaki gunung yang nyaris sampai puncak. Tampaknya baik-baik saja dan nggak ada hal-hal yang mengancam kecuali langit yang terkesan bakal segera memuntahkan badai. Lalu, adegan flashback ke 6 minggu sebelumnya, ketika Rob Hall sedang bersiap-siap hendak naik pesawat menuju Khatmandu. Lewat adegan ini, penonton jadi tau kalo Rob menanggung tanggung jawab sangat tinggi karena selain harus membawa timnya naik dan turun Everest dengan aman, juga harus memenuhi janjinya untuk kembali pada sang istri yang tengah hamil tua. Yep, seems like foreshadowing sih di sini, tapi jujur, sepanjang perjalanan film, gue masih selalu berpikir positif soal ending dari Rob Hall ini (berhubung gue ngga pernah nonton atau tau kisah aslinya yang ditulis sama Jon Krakauer). Lalu, cuma jeda beberapa menit (setelah pengenalan karakter yang cukup singkat dan seperlunya), segera penonton dimanjakan dengan scenery porn yang detail dan indah sepanjang perjalanan menuju titik awal pendakian. Di sini, gue jadi keingat sama film bioskop lokal berkualitas yang judulnya 5 CM (2012). And please, bicara soal bertele-tele, malah 5 CM itu jauh lebih bertele-tele karena acara pendakiannya cuma disajikan nyaris di pertengahan film. Kalo kalian bisa menikmati 5 CM, so pasti kalian juga bisa menikmati film ini.

Nah, satu hal yang bikin gue takjub dari film EVEREST (2015) ini adalah special effect. Berdasarkan informasi yang gue dapet dari Wikipedia, film ini menjalani proses shooting awal benar-benar di Everest, tapi masih di daerah kaki gunungnya. Perjalanan menuju Camp terdekat itu masih asli. Sedangkan Camp 3 ke atas, yang mana setting-nya sudah semakin ekstrim dengan hamparan es di mana-mana, itu di-shooting di Inggris, tepatnya di dalam Pinewood Studio.Sedangkan printilan-printilan kecil penyempurna film diambil di banyak lokasi, mulai dari Iceland, Rome, dan banyak lagi tempat-tempat lainnya. But you know what? Penggambaran Everest di film ini bener-bener terlihat nyata, beautifully realistic. Gue sampe sempet ngebayangin kalo film ini bener-bener dibuat langsung di Everest secara keseluruhan, tapi itu masih mustahil untuk dilakukan saat ini.

Sebagai trivia bonus, sebelum Jason Clarke yang memerankan Rob Hall, Christian Bale sempet ditawarin, sayangnya dia drop. Mungkin dia takut dingin? #eh

Pada akhirnya, gue simpulkan kalo film ini well-made, dari segi scenery luar biasa indah dan mencekam secara bersamaan. Plot dengan alur lambat yang pas, penggalian karakter juga memuaskan, sampe bisa membangun rasa simpati sama tiap-tiap tokohnya, dan banyak hal lainnya yang luar biasa di film ini. Satu-satunya kekurangan mungkin karena sorotan adegan pada tokoh utama menjelang akhir cerita, yang seharusnya bisa jauh lebih dramatis lagi malah terasa agak flat. But, overall, I give this movie a standing applause.

Most favorite scene:
Adegan perjalanan menuju Camp Pertama pendakian Everest. Bener-bener menyuguhkan pemandangan alam yang indah.

Score: 8,6/10

Posting Komentar

0 Komentar