header ads

Review Film MISS PEREGRINE'S HOME FOR PECULIAR CHILDREN (2016)

MISS PEREGRINE'S HOME FOR PECULIAR CHILDREN (2016) movie review by Glen Tripollo
Nggak tau mesti bilang apa, karena setelah dua bulan lamanya gue membiarkan film-film keren tayang silih berganti di bioskop, akhirnya gue ada waktu juga buat nonton salah satu film yang gue tunggu-tunggu di tahun ini. Kebetulan gue lagi punya kerjaan dengan deadline singkat di bulan ini, yang mana gue bener-bener butuh refreshing sebelum memfokuskan diri ke kerjaan gue biar ngga stress. So, this is it!

Kali ini gue nyoba nonton sebuah film adaptasi novel berjudul sama, sebuah seri pertama dari Miss Peregrine trilogi karya Ransom Riggs. You know what? Gue belom pernah baca novelnya, jadi review gue ini bisa dikatakan murni menilai filmnya aja tanpa membanding-bandingkan dengan versi bukunya. Terus kenapa kok gue nunggu-nunggu film yang asal-muasalnya aja belum pernah gue ketahui? Semua karena Eva Green, salah satu aktris yang menurut gue punya kualitas akting di atas rata-rata dan sukses bermain watak, walau image-nya lebih dikenal sebagai sosok wanita binal, seperti di film 300: RISE OF AN EMPIRE (2014), SIN CITY 2 (2014), dan TV series PENNY DREADFUL (2014 - 2016), atau kalau mau lebih jauh mundur ke belakang di film THE DREAMERS (2003). Selain Eva Green, film ini juga jadi makin ditunggu karena ternyata di-direct langsung sama sutradara legendaris Tim Burton. So, seperti apa ya kira-kira filmnya? Yuk, lanjutin baca review film Miss Peregrine's Home for Peculiar Children (2016) berikut ini.

Miss Peregrine's Home for Peculiar Children (2016) menceritakan Jake Portman (Asa Butterfield) yang kehidupannya berubah drastis setelah kejadian yang merenggut nyawa kakeknya, Abe (Terence Stamp). Sewaktu kecil Jake dekat dengan kakeknya yang sering menemaninya dengan bercerita tentang sebuah rumah milik Miss Peregrine (Eva Green) di tahun 1943 yang mana di dalamnya hidup anak-anak dengan kemampuan khusus. Selain itu, sang kakek juga menceritakan makhluk-makhluk aneh yang senantiasa mengancam kehidupan anak-anak tersebut. Jake selalu mempercayai cerita kakeknya, ditambah dengan kemunculan makhluk aneh tersebut sesaat sebelum kematian kakeknya, mendorong Jake untuk menyelidiki lebih lanjut keberadaan Miss Peregrine. Jake dan ayahnya, Franklin (Chris O'Dowd) pergi ke lokasi yang mestinya menjadi tempat di mana Miss Peregrine berada dengan dalih liburan. Di sana Jake menemukan bahwa rumah yang dimaksud ternyata sudah hancur akibat serangan rudal Nazi.


Hampir putus asa, tiba-tiba Jake bertemu dengan sejumlah anak yang ia tahu dari foto-foto milik kakeknya. Anak-anak berkemampuan khusus yang mengajak Jake pergi menemui Miss Peregrine yang ternyata masih hidup di dalam sebuah dimensi yang terlindung dari dunia luar. Dimensi di mana terjadi perputaran waktu kembali setiap 24 jam. Miss Peregrine banyak menceritakan segala hal mengenai kakek Jake, hingga suatu ketika Emma (Ella Purnell) memberitahu Jake bahwa dirinya juga salah satu dari anak berkemampuan khusus seperti kakeknya. Kemampuan apa itu? Lantas Miss Peregrine pun menganggap keberadaan Jake begitu penting demi melindungi anak-anak tersebut. Jake ditawari untuk tinggal bersama mereka dan membantu mereka menghadapi berbagai ancaman luar, terutama yang paling jelas adalah ancaman dari Barron (Samuel L. Jackson) salah seorang berkemampuan khusus yang menjadi jahat berkat ambisinya yang ingin abadi bagaikan dewa. Sebuah kesalahan dalam percobaannya, membuat dirinya dan beberapa orang pengikutnya berubah menjadi makhluk aneh yang membutuhkan mata anak-anak berkemampuan khusus untuk menjaga bentuk tubuhnya tetap dalam wujud manusia. Nah, Barron ternyata mengincar Miss Peregrine untuk dijadikan bahan percobaan lainnya. Lantas bagaimana nasib anak-anak berkemampuan khusus lainnya? Saksikan kisah lebih lengkapnya langsung di bioskop-bioskop kesayangan kalian ya, Guys!

Bagaikan Harry Potter yang di-blend sama X-Men 
Tema the choosen one memang banyak banget digandrungi penulis-penulis novel young adult, begitu juga dengan film yang satu ini. Namun bedanya, di sini the choosen one disajikan dengan lebih halus. Berhubung film ini memakai nama Miss Peregrine sebagai judul, maka tokoh utamanya, Jake Portman, ngga begitu kelihatan bersinar. Terus yang bikin gue teringet sama X-Men adalah karena Miss Peregrine di sini memiliki peran yang kurang lebih sama dengan Professor X, menampung dan melindungi anak-anak dengan kemampuan khusus. Hanya saja kemampuan anak-anak ini tergolong lebih fantasiyah ketimbang X-Men yang kental nuansa sci-fi. Secara keseluruhan, sebetulnya bisa dibilang film ini memang pantas dan cocok banget digarap sama Tim Burton, berhubung tema suram, nuansa gothic, dunia ajaib dan keabsurdan yang sudah melekat di dalam diri Tim Burton.

 

Akting pemain yang terbilang so-so
Salah satu alasan kenapa gue ngerasa agak kecewa sama film ini. Pertama, kualitas akting Eva Green yang ngga banget ditonjolin. Karakter Miss Peregrine yang cenderung datar begini, gue rasa agak sayang sih pakai Eva Green, jadi mubazir bakatnya nggak dipakai. Tapi kalo memang doi mau mengambil peran ini demi mengubah image dirinya dan lebih dekat lagi dengan anak-anak, gue rasa bukan hal yang salah juga. Cuma sayang aja gitu. Ditambah akting Asa Butterfield yang terbilang kaku abis, nyaris tanpa ekspresi. Nggak ada tampang bingung, takut, sedih, khawatir, dan sebagainya. Kedataran ekspresi Asa di film ini memberikan dampak kepada film ini yang jadi ikut-ikutan terasa datar. Pemain lainnya pun kaku abis, tapi seenggaknya masih bisa dimaklumin karena mereka semua masih newcomer di dunia film.

The plot is just awkward
Film ini berdurasi 2 jam, setengah bagian awal film bisa dibilang memberikan elemen misteri yang lumayan bikin penasaran walaupun alurnya terasa lambat (ditambah akting Asa Butterfield, jadi terasa makin lambat aja alurnya). Saat perkenalan dengan Miss Peregrine, mulai deh berasa banget elemen fantasy-nya sekaligus juga bikin penasaran dengan apa yang bakal terjadi selanjutnya. Tapi gue mulai cemas karena hampir setengah film, konflik utama yang bakal dihadapi sama tokoh-tokoh ini belum disorot juga. Makanya begitu akhirnya tercipta benang merah antara kematian sang kakek, makhluk aneh yang dinamakan Hollow (Yak, Bleach, anyone?), dan juga keberadaan another peculiar man turned evil yang bernama Barron, barulah semuanya jelas. Kemunculan Barron pun akhirnya mengubah nuansa film dengan sangat drastis yang semula lambat dan misterius menjadi cepat dan seru. Sayangnya, selain karakter Barron yang kocak bisa bikin kalian semua ngakak, setengah bagian akhir film ini bakal terasa seperti terburu-buru. Begitu rushing sampe-sampe gue ngerasa ada banyak banget plothole yang tercipta. Kamu bakal ngerasain soal plothole ini kalau menonton dengan jeli. Ada karakter yang diperkenalkan di awal, namun menghilang entah ke mana saat akhir. And what the pack ternyata karakter Barron bakalan jauh banget dari dugaan awal kalian. Walau begitu, gue merasa Samuel L. Jackson berhasil banget membawakan sosok misterius, menyeramkan, namun kocak di saat bersamaan (sampe detik ini pun gue masih merasa kalau tujuan utama dari sang villain masih kurang kuat dan memang belum dijelaskan dengan baik). Gue mulai merasa kalo sebaiknya om Samuel mendapatkan penghargaan berhubung beliau udah banyak banget bermain dalam film dan berhasil menghidupkan beragam jenis karakter walau kualitas akting standar-standar aja.

CGI Effect yang agak kaku
Alasan kedua gue agak kecewa sama film ini ada pada kualitas CGI effect-nya. Di dalam film ada karakter bernama Enoch (Finlay MacMillan), sosok anak pencemburu yang nggak suka sama kemunculan Jake dan juga keliatan suram, yang mempunyai kemampuan menghidupkan apapun ketika ia memasukkan sebongkah jantung binatang ke dalam tubuh objeknya. Nah, pergerakan makhluk-makhluk yang ia ciptakan digambarkan dengan CGI Effect yang tersaji dengan patah-patah dan kurang menyatu dengan background. Sekilas berasa kayak animasi CORPSE BRIDE (2005) yang ditempel ke dalam film live action. Penggambaran karakter Hollow-nya sih bagus, tapi berubah jadi komikal banget saat perang melawan pasukan tengkorak buatan Enoch menjelang akhir cerita. Not so bad sebetulnya, tapi untuk film ini mestinya sih bisa dibuat lebih kece lagi biar makin puas nontonnya.

And the conclusion is...
Film yang sangat layak dan fun buat dinikmatin rame-rame sama keluarga. Sama sekali nggak ada adegan aneh-aneh. Bahkan di bioskop adegan Jake mencium Emma pun dipotong. Gue rasa baguslah, memang sebaiknya ngga ada kissing di antara mereka berhubung chemistry antara Jake dan Emma beneran garing di sini. Belum bisa dikatakan pas untuk mulai diarahkan ke sesi romance di antara keduanya. Salahkan Asa Butterfield yang terlalu datar aktingnya, plus penulis script yang nggak maksimal kerjanya. Kalau orang dewasa yang nonton ini, terlebih suka mengkritik seperti gue, pasti bakal banyak keluhannya, tapi kalo untuk anak-anak dan remaja, gue yakin film ini masih bakal nempel dengan baik di imajinasi mereka. Seenggaknya film ini cukup untuk memberikan kita sekelebat inspirasi dalam membuat kisah bergenre serupa.

NB: Akhir kisah di film ini sebetulnya udah bisa dibilang benar-benar tamat. Tapi berhubung novelnya memang terdiri dari tiga buku, ditambah masih banyak karakter (termasuk Miss Peregrine sendiri) yang batasan maksimal kemampuannya belum benar-benar terekspos, let's hope for the sequel.

Score: 7,5/10

Posting Komentar

0 Komentar