[18+] Review Film THE AUTOPSY OF JANE DOE (2016)

THE AUTOPSY OF JANE DOE (2016) movie review by Glen Tripollo
Geeks, gue pengen ngebahas satu film yang sempet jadi perbincangan di dunia maya belum lama ini. Film yang bahkan direkomendasikan sama Stephen King (ditambah embel-embel untuk jangan nonton ini sendirian) bener-bener bikin gue jadi penasaran. Konon katanya sang sutradara yang berasal dari Norwegia, André Øvredal, mendapatkan ilhan (atau lebih tepatnya mood) untuk membuat film horor setelah selesai nonton film THE CONJURING (2013). Yah, walaupun script filmnya sih bukan beliau tulis sendiri melainkan lewat proses pencarian naskah terbaik yang dapat menggugah hasrat beliau untuk menggarapnya jadi film. Pilihan pun jatuh pada script karya duo Ian B. Goldberg dan Richard Naing. Hmm, background story dari orang-orang di belakang layarnya sih memang bikin makin penasaran ya, tapi seperti apakah sebetulnya film ini? Yuk, simak review film THE AUTOPSY OF JANE DOE (2016) ala gue berikut ini.

THE AUTOPSY OF JANE DOE (2016) menceritakan ayah dan anak, Tommy (Brian Cox) dan Austin Tilden (Emile Hirsch), yang bekerja sebagai koroner (tukang otopsi mayat). Mereka punya tempat ngubek-ngubek mayat di bawah tanah rumah mereka. Ayah dan anak yang cukup kompak ini sudah lama menjadi langganan Sheriff setempat dalam memeriksa dan mendeteksi sebab-sebab kematian mayat yang ditemukan di sebuah TKP. Biasanya sih nggak pernah ada masalah dengan mayat-mayat yang mereka otopsi, tapi semua berubah ketika Sheriff Sheldon (Michael McElhatton) membawa sesosok mayat gadis muda tanpa identitas, alias Jane Doe (Olwen Catherine Kelly) yang ditemukan di sebuah TKP dalam keadaan telanjang bulat dan setengah terkubur di ruang bawah tanah. Austin yang tadinya sudah siap mau berkencan dengan pacarnya, Emma (Ophelia Lovibond), harus menunda lantaran Sheriff Sheldon membutuhkan hasil otopsinya sesegera mungkin untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, dan ia juga tidak ingin membiarkan ayahnya bekerja sendirian di malam hari. Namun, semakin mereka meneliti penyebab kematian sang Jane Doe, semakin banyak pertanyaan yang muncul hingga membuat mereka terjebak dalam sebuah kengerian. Seperti apa lengkapnya, kalian bisa cek sendiri filmnya yak!

Simple idea, very good story development
Dari judulnya udah keliatan banget kalau film ini mengambil ide dasar yang sangat sederhana. Bagaimana seandainya seorang (dalam hal ini dua orang) yang bekerja sebagai koroner mendapatkan mayat misterius di ruang kerjanya? Bagaimana kira-kira pola pikirnya? Apa yang akan mereka lakukan? Berhubung rata-rata pekerja sains pasti lebih mengandalkan logika ketimbang hal-hal lainnya, entah itu supernatural, mistis, atau another mind fuck phenomenon. Tentunya akan jadi kisah yang menarik untuk mengetahui pola pikir dan perkembangan karakter mereka saat menemukannya langsung di depan mata. Sesederhana itu dan dengan pemanfaatan setting yang sederhana pula. Bisa dibilang 90% adegan terjadi di ruang otopsi, sisanya di ruangan lain di sekitar situ dan TKP tempat mayat Jane Doe ditemukan. Dengan bermodalkan setting terbatas tersebut, film ini tetap bisa menyuguhkan sebuah cerita yang tidak membosankan dengan elemen tegang yang dibangkitkan secara perlahan-lahan.

Thanks to scriptwriters dan kepiawaian sang sutradara yang menurut gue udah berhasil menyuguhkan elemen ketegangan, dramatis, dan juga membimbing otak penonton agar ikut merasakan kebingungan akan misteri yang dirasakan oleh karakter-karakternya. Gue mesti bilang, proses otopsi yang dilakukan bener-bener terasa realistis, ditambah argumen-argumen dan analisis objek yang bikin greget dan makin menambah rasa penasaran penonton. Pas nonton ini, setiap kali mereka menemukan petunjuk baru, gue bakal langsung nebak jangan-jangan gini, jangan-jangan gitu, tapi tebakan gue selalu berhasil terbantah ketika petunjuk lainnya muncul. Dan ketika akhirnya kita tau jawabannya, rasanya begitu puas dan selanjutnya kengerian pun disajikan secara bertubi-tubi namun dengan sangat apik tanpa banyak mengandalkan jumpscare. Serius, ini film horor pertama yang gue tonton di tahun 2017 yang bener-bener minim banget elemen jumpscare-nya.

Very good camera work, realistic act
Membangun nuansa tegang tanpa banyak mengandalkan jumpscare itu cukup sulit, karena akhirnya yang bakal berperan banyak adalah akting ketakutan karakternya plus teknik pengambilan gambarnya. Khusus film ini, sebetulnya yang unik adalah dua karakter utamanya sama sekali ngga menampakkan ekspresi ketakutan yang berlebihan, which is, sebetulnya berasa realistis banget. Percaya atau nggak, akting ketakutan sampe keringet dingin dan teriak-teriak lebay itu sebetulnya agak kurang realistis di dalam film-film horor, karena kalo di dunia nyata kita sedang ketakutan sama fenomena supernatural, normalnya kita ngga teriak, melainkan malah diem, kaku, sambil diliputin sama rasa campur aduk antara kebingungan, penasaran, dan tegang secara bersamaan. Singkatnya, ekspresi yang ditampilkan kedua karakter dalam film ini adalah ekspresi yang mestinya diterapkan di film-film horor lainnya. Pas dan nggak lebay. Apalagi mengingat kedua tokoh utamanya adalah para koroner yang sudah terbiasa ngurusin mayat, jadi memang seharusnya ngga ketakutan berlebihan menghadapi hal demikian. Selain itu, chemistry ayah anak yang diperankan Emile Hirsch dan Brian Cox cukup kerasa.

Nah, balik lagi ke soal camera work, alias cinematography. Selain pemanfaatan angle yang gue rasa pas, memanfaatkan ruang yang tergolong sempit untuk menghasilkan adegan demi adegan yang ngga membosankan. Ditambah penggunaan tone yang sangat pas diterapkan untuk membangun nuansa horor tanpa mesti selalu menggunakan setting gelap. Di sini bahkan sebagian adegan disajikan di tempat terang, dan sekalipun gelap, ada adegan yang memberikan penjelasan masuk akal secara visual kenapa tempatnya mesti gelap. Ketidakmasukakalan yang sering gue dapetin di film horor adalah berada di ruangan gelap, padahal di sana ada lampu, dan lampunya didiamkan aja, ngga dinyalain. Konyol menurut gue. Tapi tenang aja, di film ini ngga ada adegan konyol semacam itu. Hehe.

Nice effects for Jane Doe
Nah, di bagian inilah yang gue bilang kalo film ini sama sekali buka low budget movie. Entah sihir apa yang dipakai untuk membuat proses otopsi mayatnya terasa kayak beneran. Apakah pakai CGI, atau sekedar make up effect hyper realism, gue ngga tau pasti, yang jelas keren banget. By the way, di sepanjang film kita bakal ngeliat tubuh telanjang Olwen Catherine Kelly yang terbilang seksi (doi model sih) dipegang-pegang dan diobok-obok dalemannya sama kedua tokoh utama film ini. Payudara nampak jelas tanpa sensor, yang mana menjadikan film ini sama sekali bukan tontonan anak-anak. Adegan favorit gue adalah ketika tubuh Jane Doe disorot kamera persis 180 derajat dari atas dan mereka mulai membedah tubuhnya hingga terlihat bekas sayatan yang begitu nyata, disusul dengan aliran darah dari dalamnya. Siapapun yang membuat efek ini gue bilang sempurna banget. Yang mana bisa juga berpengaruh pada penonton yang memiliki perut lemah terhadap adegan gore.

Walau Olwen Catherine telanjang bulat dan disorot total, aktingnya sebagai mayat begitu bagus sampe-sampe ngga ada perasaan negatif sama sekali ketika melihatnya. Please lah, siapa yang bisa terangsang sama mayat selain yang punya kelainan? Syukurlah, berkat film ini akhirnya gue tau kalo gue normal. Hahahaha. Yah, walaupun gue denger sih Olwen sempat mendapatkan kritikan dan serangan dari netizen terkait perannya sebagai mayat di film ini.

Overall, I give this movie two thumbs up, karena berhasil menyajikan ide cerita sederhana menjadi luar biasa, dengan gaya pengambilan gambar yang tepat, dan pembangunan elemen horor tanpa cheating (baca: jumpscare), ditambah dengan sebuah kejutan di akhir kisah yang menjadikan siapa saja merasa miris dan cemas apa yang bakal terjadi kemudian. I really looking forward for the next piece of André Øvredal. Film ini menyajikan open ending yang mana sebetulnya bisa membuka jalan untuk munculnya sequel, tapi mungkin sequel bukan hal yang bagus karena khawatir yang unik ini akhirnya malah jadi monoton di kemudian hari.

NB: Kalo pengen nonton film ini dan mendapatkan sensasi yang lebih baik, mending jangan turutin kata-kata Stephen King. Tontonlah film ini di malam hari, di dalam kamar gelap, dan sendirian.

Score: 8/10


[18+] Review Film THE AUTOPSY OF JANE DOE (2016) [18+] Review Film THE AUTOPSY OF JANE DOE (2016) Reviewed by Glen Tripollo on 13.30 Rating: 5

19 komentar:

  1. kemaren saya sudah lihat trailernya di youtube makanya penasaran pengen nonton

    BalasHapus
  2. Sudah punya di lepi, tinggal mengumpulkan nyali untuk nonton :D

    BalasHapus
  3. Ending nya msh blm ngerti dahh, si cwe itu penyihir kan? Kok bpk nya bisa mati yaa ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bapak itu mati, karena dia udah ngucapin janji ke mayat cewek, sambil lihat matanya dia janji "balaslah semua kesakitanmu ke aku, aku akan membantumu, tapi jangan sakiti anakku". Gara2 itu, jadi semua sakit dan luka si cewek akibat autopsi pindah ke si bapak. Cewek ini penyihir, dan sebenarnya masih hidup. Tapi yg nampak hidup cuma otaknya. Jdi wktu badan dia di autopsi, dia masih merasakan sakit.

      Hapus
    2. Bapak itu mati, karena dia udah ngucapin janji ke mayat cewek, sambil lihat matanya dia janji "balaslah semua kesakitanmu ke aku, aku akan membantumu, tapi jangan sakiti anakku". Gara2 itu, jadi semua sakit dan luka si cewek akibat autopsi pindah ke si bapak. Cewek ini penyihir, dan sebenarnya masih hidup. Tapi yg nampak hidup cuma otaknya. Jdi wktu badan dia di autopsi, dia masih merasakan sakit.

      Hapus
    3. nope, endingnya mirip di keluarga yg sebelumnya mati. bukan ada yg masuk ke dalam, tapi mencoba keluar. pas adegan anaknya yg mau keluar

      Hapus
  4. Aduh baca reviewnya aja udah ikutan serem. Pengin nonton penasaran banget tapi asli takuuuttt.

    BalasHapus
  5. lebih serem dari conjuring menurut ku :DD entah mengapa ditambah back song nya walaaaaaaaaaa

    BalasHapus
  6. Gw baru bgt kelar nton film ini ,emang seru bgt.. kayanya masi ada klanjutan nya, gw tunggu ..

    BalasHapus
  7. Udah nonton tapi belom lega karna masih belom jelas (segamblang-gamblangnya) tentang asal usul si jane doe ini😭 berasa masih ada yg ganjel
    Over all emang bagus banget, bener kata admin, semuanya keliatan natural dan ngga dibuat-buat.
    Ini film kedua yg berhasil bikin deg deg ser parah setelah don't breathe.

    BalasHapus
  8. Udan nonton..saking gemeteran 50% ke blakang tutup muka..😂 cm agak kesal..kan si bapak dah mw nanggung rasa sakitnya si Jane ini..trus knapa anaknya msih kna jga😑😑😑 #EfekEmosiAbisNonton

    BalasHapus
  9. Barusan bgt nonton nii film..dari mulai adegan yg kucingnya mati smp selesai gw kebanyakan nutup mata. Yg bikin penasaran itu asal usul si jane doe dri mana & knp bs ada di rumah TKP jadi rasanya ngegantung aja gtu. Tpi efek wktu ngebedah mayat keren lah kaya mayat beneran

    BalasHapus
  10. Barusan bgt nonton nii film..dari mulai adegan yg kucingnya mati smp selesai gw kebanyakan nutup mata. Yg bikin penasaran itu asal usul si jane doe dri mana & knp bs ada di rumah TKP jadi rasanya ngegantung aja gtu. Tpi efek wktu ngebedah mayat keren lah kaya mayat beneran

    BalasHapus
  11. Membingungkan di kisah sebenarnya si jane ya.. di film masih reka-an, ga ada flashback hehe. Tapi emang realistis banget film nya. Cemana caranya bisa ada flashback ya haha ga ada campur tangan dukun. mungkin ada kelanjutan ceritanya kali ya. High five horror-thriller

    BalasHapus
  12. Menurut gue kenapa anaknya kena juga karena anaknya membantu ayahnya buat ngilangin rasa sakit secepet mgkn dgn cara bunuh diri dgn pisau. Si penyihir gak terima dan pingin bapakny ngerasain rasa sakit yg sama kayak dia saat autopsi. Gitu kali ya

    BalasHapus

Halo, Sobat MovGeeks! Kalau kamu udah pernah atau pun belum menonton film ini, silakan sampaikan pendapatnya di kolom komentar, ya. Pergunakan bahasa yang sopan, tidak SARA atau mengandung pornografi. Dimohon juga untuk tidak meninggalkan link aktif, karena berpotensi SPAM.

Terima kasih ^__^)//

MovGeeks Team

Diberdayakan oleh Blogger.