header ads

[West-Movie Review] Speak (2004)

"Speak (2004)" movie review by Wildan Hariz
Pernah punya kesulitan berbicara? Punya semacam trauma? Atau punya uneg-uneg yang sulit--atau tidak ingin--diungkapkan? Jika iya, maka mungkin sebaiknya hal itu dibicarakan agar pikiran kita jadi tenang, bukan? Tentang berbicara inilah yang menjadi tema film "Speak". Ini film lama memang, dirilis tahun 2004. Namun film ini menurut gue masih menarik untuk di-review. Seperti yang kalian lihat di gambar di atas maupun di poster yang gue cantumin di bawah, film ini dibintangi oleh –tidak lain dan tidak bukan– Kristen Stewart (Twilight, Snow White and the Huntsman).

Di film "Speak (2004)", sang aktris yang terkenal memerankan karakter Bella Swan ini menjelma menjadi sosok remaja dengan sebuah trauma misterius di musim panas bernama Melinda Sordino. Gadis remaja ini diceritakan baru menginjakkan kaki di high school dengan segala problematika kehidupan remaja, dari mulai masalahnya dengan teman, guru, sampai keluarga. Seiring berjalannya cerita, penonton akan lebih banyak mendengar suara pikiran gadis ini dan dibawa perlahan untuk mengungkap alasan mengapa ia memilih untuk tidak berbicara.

Sinopsis: After a blurred trauma over the summer, Melinda enters high school a selective mute. Struggling with school, friends, and family, she tells the dark tale of her experiences, and why she has chosen not to speak. (Sumber: IMDb)

Diangkat dari sebuah novel dengan judul sama karya Laurie Halse Anderson, film ini bisa dibilang sangat representatif dan stay true to the novel, dengan beberapa penyesuaian minor. Kenapa gue bilang representatif? Karena secara pribadi, gue sendiri baru baca habis novelnya setelah nonton filmnya, dan gue bisa ngebayangin adegan-adegan di film sekaligus menyadari beberapa perubahan kecil yang ada di sana. Oleh karena itu, gue pikir Jessica Sharzer sebagai penulis screenplay dan sutradara sudah cukup sukses membawa cerita novel remaja ini ke layar lebar.

Mengenai karakter di film ini, banyak trait-trait menarik yang dimiliki setiap karakternya. Dimulai dari Heather (Allison Siko), teman Melinda yang mendekatinya hanya untuk popularitas; Rachel (Halle Hirsh), teman lama Melinda yang masih memiliki dendam terhadap melinda di masa lalu; Dave Petrakis (Michael Angarano) teman Melinda yang berusaha membantu menggantikan Melinda membacakan laporan lisan di depan kelas, hingga Andy Evans (Eric Lively) yang disebut Melinda sebagai "IT" karena suatu alasan.

Tidak hanya tentang Melinda dan teman-temannya, berbagai figur guru pun dihadirkan di film ini. Pertama, ada "Hairwoman" (Leslie Lyles), guru Bahasa Inggris yang kurang menguasai kelas karena penampilannya yang kikuk. Rambut menjuntai dan tidak teratur yang dimilikinyalah yang membuat Melinda menjulukinya "Hairwoman". Somehow, pada suatu titik di alur cerita, guru ini juga bisa mengatasi masalahnya sendiri dengan merubah penampilannya. Sayangnya, bagaimana ia sampai berpikiran untuk perubahan penampilannya itu tidak diceritakan secara rinci di film ini.

Selain itu ada juga Mr. Neck (Robert John Burke), guru sejarah yang terlampau tegas, ketat dan bisa dibilang "killer" dengan menjunjung tinggi kedisiplinan. Guru ini sempat berseteru dengan Melinda dan Dave saat Melinda diminta melaporkan laporan selain lisan di depan kelas.

Figur guru yang terakhir adalah Mr. Freeman (Steve Zahn), sang guru kesenian. Menurut gue guru ini mencoba menghadirkan kegiatan yang engaging untuk para muridnya dengan kecerdikan yang dimilikinya. Sayangnya, dia menyampaikannya di awal dengan cara yang aneh. Dia adalah guru yang paling dekat dengan Melinda walaupun awalnya Melinda tidak terlalu mempercayainya.

Sedangkan, untuk karakter orangtua sendiri gue liat peran kedua orangtua Melinda yang menganggap seolah Melinda baik-baik saja dan tidak mengetahui masalah Melinda. Peran lebih besar yang terlihat di sini adalah dari ibunya, Joyce Sordino (Elizabeth Perkins), yang terbilang lebih banyak berinteraksi dengan Melinda dan menunjukkan perhatiannya.

Cukup untuk karakter. Sekarang mari kita bahas sedikit aspek sinematografinya. Aspek sinematografi yang lumayan menarik di film ini bisa dilihat dari pengambilan sudut kamera yang pas. Ini sangat berperan di beberapa adegan akhir dimana kamera menghadirkan satu frame wajah Melinda yang terluka disorot dan dipadukan dengan pemandangan blur di belakangnya.

Lighting-nya cukup memadai. Nggak ada bagian yang terlalu terang atau terlalu gelap. BGM-nya pun pas dipake di beberapa titik adegan, terutama saat Melinda sendirian. Aspek lain yang indah adalah penggunaan efek mute pada saat Melinda akhirnya menceritakan masalahnya pada ibunya.

Favorite quote:
"She, he, IT, cuts class." –Melinda Sordino

Kutipan tersebut secara tidak langsung menurut gue menggambarkan sikap Melinda terhadap keberadaan karakter Andy Evans sebagai antagonis, sekaligus mendeskripsikan generalisasi sikapnya kepada teman-teman lainnya atas kehidupan sekolah dimana bolos sudah menjadi hal yang lumrah.

Terakhir, untuk kalian yang berminat nonton film ini dan penasaran sama novelnya, gue sarankan untuk menonton filmnya dulu sebelum baca novelnya. Tapi, ini semata-mata karena secara pribadi gue merasa lebih enak baca novelnya setelah nonton filmnya, lho. Kalau kalian merasa lebih enak sebaliknya ya silakan saja. Dan buat yang udah baca novelnya, film ini sangat patut ditonton oleh kalian. Yah, segitu aja deh untuk review kali ini. See you next review.

Rating: 8/10

Posting Komentar

0 Komentar