header ads

Review Film SHAUN THE SHEEP MOVIE (2015)

"Shaun the Sheep Movie (2015)" movie review by Glen Tripollo
Sebenernya tulisan ini udah lumayan lama mau gue beresin. Tapi apa daya, baru kesampaian sekarang. Sebenernya waktu itu gue agak grogi kalo ke bioskop sendirian cuma buat nonton film ini. Untungnya ada ade sepupu gue yang masih SD, jadi gue manfaatin dia buat alesan supaya ada temen nontonnya! Hohoho. Terus hasilnya? Percaya nggak percaya, ternyata film ini berada jauh di atas ekspektasi awal gue!! Kok bisa? Yuk, lanjutin dulu baca review film "Shaun the Sheep Movie (2015)" ini!

"Shaun the Sheep Movie" masih menceritakan para penghuni peternakan. Semua tokoh ada di sini, termasuk si trio babi dan banteng sensian yang sukses tampil sebagai cameo. Sayangnya, kita ngga bakal bisa liat si kucing oranye yang tingkah lakunya ngeselin. Suatu ketika rasa boring menghantui Shaun dan kawan-kawan dengan kehidupan monoton di peternakan. Untuk itu, diam-diam mereka menyusun strategi untuk mengadakan pesta di rumah si Peternak. Strategi dapat dibilang sukses, kalo aja kereta mobil van yang dipakai Shaun buat nampung Si Peternak yang lagi terlelap nggak terlepas dari penyangganya dan meluncur sendiri sampai ke kota. Bitzer, yang notabene binatang setia sama majikan langsung ngejar kereta van tanpa pikir panjang, sementara Shaun dan kawan-kawan masih keukeuh buat ngadain pesta. Waktu demi waktu berlalu, hingga akhirnya Shaun dan kawan-kawan sadar kalau ketiadaan si Peternak itu berarti tak ada makanan bagi mereka. Dengan semangat, mereka pun akhirnya menyusul ke kota, mencari sang majikan yang ternyata mengalami kecelakaan hingga membuatnya lupa ingatan. Di sini, Shaun dan kawan-kawan bertemu dengan karakter pendukung berbentuk tikus jelek yang suka mengais-ngais sampah cari makanan. Sementara itu, kawanan domba sok tahu ini harus main kejar-kejaran dengan seorang penangkap hewan liar yang terobsesi menangkap Shaun.


Sebelumnya, di Facebook ada yang nanya apakah film ini merupakan film bisu seperti versi series-nya. Nah, ternyata film ini memang film bisu, walaupun sebenernya ngga bisu-bisu amat. Kita masih bisa denger suara Shaun dan kawan-kawan yang mengembik, atau suara orang-orang bergumam dengan bahasa yang entah bahasa apaan (oke, ini nggak penting). Lantas dengan format seperti itu, apakah film ini menjadi membosankan? NGGAK! Sama sekali ngga. Waktu gue nonton ini, di sebelah duduk seorang ayah dari dua anak yang masih balita. Menganggap ini film anak-anak yang membosankan, si ayah pun tidur. Tapi cuma selang sepuluh menit, ketika akhirnya dia terbangun gegara suara tawa penonton, selanjutnya si ayah ini pun melek total dan ngakak kenceng nonton adegan demi adegan yang ditampilkan. Yeah, ini nggak bakal bikin boring, bahkan bagi orang dewasa sekali pun. Dan kenapa pula gue begitu perhatian sama penonton di sekitar gue? #plak!

Bigger Screen needs Bigger Conflict
Udah jelas ya, rumus untuk sesuatu yang berawal dari TV series untuk bisa menapaki areal studio bioskop itu harus mengembangkan cerita yang mulanya sederhana jadi lebih spektakuler dan lebih panjang. Karena fokus "Shaun the Sheep the Series" adalah kehidupan di peternakan, lantas pihak produksi mencoba untuk memperluas lagi setting-nya hingga ke kota besar. Artinya? Lebih banyak lagi orang-orang terlibat, lebih banyak lagi tokoh-tokoh pendukung baru, dan pastinya bangunan-bangunan baru yang memberikan warna baru kepada para penonton.


Walaupun sebetulnya konfliknya pun masih tergolong sederhana, tetep aja untuk ukuran cerita konyol ala "Shaun the Sheep", petualangan mencari sang majikan di kota besar itu luar biasa. Sepanjang film, penonton bakal dibikin ketawa terbahak-bahak oleh kelakuan domba-domba narsis ini. Dan satu hal yang menurut gue paling penting karena nggak dibahas di versi series-nya adalah masa lalu Shaun dan Bitzer ditunjukkan di sini. Well, as I expected, kalo Shaun dan Bitzer itu memang berkawan sejak mereka masih baby.

Yang kurang di sini mungkin ukuran dimensi layar dalam pengambilan gambar filmnya. Walaupun layarnya udah dilebarin sampai ukuran maksimal, tetep aja area gambar dari film ini cuma memakai 80% bagian saja, sehingga ada ruang kosong hitam di sekitar film yang terputar. Agak kurang greget aja karena nggak full screen. Mungkin juga karena kamera yang dipakai masih mengambil gambar dengan dimensi standar, bukan wide-screen.


Kalau pada dasarnya kamu memang penggemar "Shaun the Sheep", seharusnya sih kamu bakal suka banget sama proyek ini, walau sebenernya masih kalah epik ketimbang proyek studio ini sebelumnya, seperti "Chicken Run". Yah, seenggaknya film animasi ini udah berhasil mengangkat kembali seni stop-motion ke layar lebar. Dan gue selalu kagum sama desain-desain menggunakan plastisin yang bisa detail to the max.

Most Favorite Scene:
Ketika Timmy gelisah harus tidur secara menggembel di pinggiran kota, Shaun dan kawan-kawan langsung nyanyi buat ngehibur and menenangkan si domba unyu itu. Oh ya, soundtrack untuk bagian ending juga asik banget dengernya. Lagu Shaun the Sheep yang biasa digubah ke genre hip hop dengan sisipan rap yang mantap!

Score: 7,9/10

Posting Komentar

0 Komentar