header ads

Review Film RUN ALL NIGHT (2015)

"Run All Night (2015)" movie review by Glen Tripollo
Awal tahun 2015 kemaren bisa dibilang emang tahunnya Liam Neeson. Abis menelurkan "Taken 3 (2015)" dari trilogi penculikan anggota keluarga Brian Mills, seorang pensiunan agen CIA, kali ini beliau hadir lagi dalam sebuah film yang intinya nggak jauh berbeda. Walau kesannya nggak jauh beda, tapi masing-masing film masih memiliki ciri khas-nya sendiri kok. Penasaran? Yuk, simak review film Run All Night (2015) berikut ini.

"Run All Night (2015)" menceritakan tentang seorang ayah yang dulunya bekerja di dunia hitam sebagai handyman atau hitman bernama Jimmy Conlon (Liam Neeson), yang berkawan baik dengan seorang mantan bos mafia bernama Shawn Maguire (Ed Harris). Jimmy yang di masa tuanya malah depresi nginget masa lalunya yang kacau dan kehilangan keluarga, menghabiskan kesehariannya dengan minum-minum. Sementara Shawn meyakinkan Jimmy kalau dia ngga sendirian. Jimmy punya anak laki-laki, namanya Mike Conlon (Joel Kinnaman). Mantan petinju dan beralih profesi jadi supir limousine sejak berkeluarga. Mike benci banget sama bokapnya, sampe males banget ngeliat muka si bokap. Nah, suatu ketika Mike bertugas nyupirin mobil buat dua orang Albania yang ternyata punya urusan (bisnis gelap) sama Danny Maguire (Boyd Holbrook), anak bangor dari Shawn Maguire. Setelah baku tembak, dan menyadari kalo Mike ngeliat kejadian itu, Mike langsung dikejar-kejar sama kawanan Danny. Ketika Jimmy mendengar anaknya menjadi target pengejaran, dia datang ke rumah Mike, dan berakhir membunuh Danny yang selangkah lagi akan membunuh Mike. Jimmy merasa bersalah dan menelpon Shawn, untuk memberitahu kenyataan bahwa dia telah membunuh anaknya (what a gentleman?). Sekejap kata-kata persahabatan mereka pun luntur. Tiada kata maaf, Shawn langsung mengerahkan orangnya untuk membalas kematian anaknya.

Perbedaan yang mendasar dari "Run All Night" bila dibandingkan dengan "Taken" trilogi adalah kadar drama di dalamnya. Drama cowok tentunya, bukan drama yang menye-menye. Kalo "Taken" trilogi bisa dikatakan drama hanya pada pembuka film, selanjutnya langsung difokuskan sama adegan penyelamatan dan aksi yang brutal, kali ini di "Run All Night" drama terbangun dari awal hingga ke akhir cerita. Drama hubungan ayah dan anak yang akhirnya dipersatukan (well, not really happening sih penyatuannya karena ... yah, liat aja sendiri filmnya) dalam sebuah kejadian kejar-kejaran dengan mafia. Alurnya pun masih lebih berbobot karena ada beberapa konflik soal relationship di sini. Hubungan Jimmy ke keluarganya, dan hubungan persahabatan Jimmy dengan Shawn yang akhirnya pecah.


Both films punya kelebihan tersendiri dalam hal aksi. "Taken" trilogi masih kental dengan gaya berantem jarak deket nan cepat bin aduhai yang bisa disandingkan dengan gaya berantemnya Steven Seagel, untuk "Run All Night" lebih sedikit adegan baku hantam, setiap tinjuan digantikan oleh peluru yang melayang. Mike Conlon diceritakan sebagai mantan petinju, tapi di film ini, Mike nyaris nggak ngapain-ngapain. Semua karena Jimmy selalu melarang anaknya itu buat menekan trigger pistol untuk membunuh orang, karena Jimmy nggak mau anaknya jadi menanggung dosa yang sama dengan dirinya juga. So, film ini bener-bener berfokus pada kisah seorang ayah yang berusaha mati-matian ngelindungin anak yang selama ini membencinya. What a heartwarming story?


Satu hal yang menarik dari film ini adalah fore-shadowing di bagian awal cerita yang bikin penonton penasaran, sebelum akhirnya cerita flashback ke enam belas jam sebelum konflik utamanya terjadi. Bikin penonton jadi berspekulasi mengenai ending yang bakal disuguhkan nantinya. Yang jelas gue bisa jamin kalo ending-nya dramatis banget walau ngga banyak ba bi bu-nya.

Dari segi karakter, jelas kualitas akting Liam Neeson lebih teruji di sini. Beliau harus memainkan peran orang yang depresi dalam menjalani hidup. Akting maboknya juga bagus. Sumpah, kapan lagi gue bisa liat Liam Neeson membawakan peran yang sampe-sampe penonton merasa iba sama kehidupannya. Berasa tua juga, jelas lah, apalagi ditambah adegan ketika beliau mesti jatuh gegara ketembak dan kakinya pincang. Walau kasian, tetep sih ya jadi terkesan badass banget pas adegan aksinya. Oh ya, tapi penuaan Liam Neeson nggak terlalu keliatan sih di sini kalo dibandingin sama "Taken 3 (2015)".

Sinematografi yang ditawarkan dalam film ini sebenernya standar-standar aja, nggak ada yang berkesan wah banget. Nggak ada CGI effect. Tingkat kebrutalan berantemnya rendah. Nggak ada adegan "dewasa" di sini, walaupun banyak melibatkan obat-obatan terlarang dan minuman keras. So, kalo ortu nonton terus kepergok sama anak kecil, nggak baka jadi masalah yang besar karena aman. Film ini bukan film berstandar Oscar, tapi sangat bisa dinikmati mengisi waktu-waktu luang. Kalo kamu termasuk penggemar Liam Neeson, so pasti kamu wajib ngecek film ini.

NB: Film ini ngasih tau kita semua kalo ngga ada yang namanya "true friend" dalam dunia hitam.

Score: 8/10

Posting Komentar

0 Komentar