Sebelum gue mulai review kali ini, ada beberapa pertanyaan dari pengunjung setia blog MovGeeks terkait X-Men yang mau gue jawab dulu. Pertama, bagaimana sih timeline yang bener untuk series X-Men ini? Ada beberapa orang kebingungan karena sebelumnya udah nonton X-MEN (2001), X2 (2003), X-MEN: THE LAST STAND (2006), X-MEN ORIGINS: WOLVERINE (2009), dan X-MEN: FIRST CLASS (2011), lalu muncul X-MEN: DAYS OF FUTURE PAST (2014) yang mengubah segalanya. Intinya, ngga perlu pusing. Kalo udah nonton X-MEN: DAYS OF FUTURE PAST (2014), anggap aja plot seluruh kisah X-Men sebelum kemunculan X-MEN: FIRST CLASS (2011) dianulir alias di-reset. Anggap aja nggak ada. Tapi bukan berarti gara-gara alurnya di-reset terus kita rugi udah nonton ketiga film tersebut yak, soalnya yang namanya hiburan akan selalu menjadi hiburan. Lumayan buat isi waktu luang liat Logan berjuang menenangkan Jean Gray yang lepas kendali dengan kekuatan cinta. #Plak!. Tapi kenapa ya pakai acara di-reset segala? Nah, mungkin salah satu alasannya karena Bryan Singer (sutradaranya) merasa trilogi perdana X-Men kurang begitu menarik, sehingga me-reset-nya demi menyajikan plot dalam timeline yang lebih menarik dan dapat diperluas adalah hal yang cukup penting. Misalnya? Nah, kita kemarin ini udah nonton DEADPOOL (2016) bukan? Deadpool berada di universe yang sama dengan X-Men yang saat ini sedang berjalan, sementara kita tahu Deadpool sebelumnya berada di film X-MEN ORIGINS: WOLVERINE (2009) dengan nasib yang agak berbeda. Berkat adanya X-MEN: DAYS OF FUTURE PAST (2014) yang me-reset timeline, Deadpool versi X-MEN ORIGINS: WOLVERINE (2009) pun akhirnya bisa dianggap tidak ada dan berubah nasib menjadi DEADPOOL yang sudah kita tonton Februari 2016 lalu. It's all become more logic than we thought before, right? Karena hal tersebut pula, makanya makes sense nanti bakal ada film GAMBIT dengan pemeran yang berbeda dengan versi Gambit di X-MEN ORIGINS: WOLVERINE (2009). Dampak reset timeline pun mendorong 20th Century Fox untuk membuat X-Force di kemudian hari sebagai perluasan universe. Bahkan udah ada bisik-bisik bakal ada crossover antara Deadpool dengan Spider-Man. Yah kita liat aja nanti perkembangannya. Yang jelas lewat sudut pandang penonton, baiknya sih kita nggak perlu dibawa bingung sama timeline karena nggak begitu mengkhawatirkan dan masih mudah untuk diikuti. Yuk, lanjut ke review film X-MEN: APOCALYPSE (2016) berikut ini.
X-MEN: APOCALYPSE (2016) menggunakan setting waktu di antara X-MEN:DAYS OF FUTURE PAST (2014), yakni beberapa waktu setelah adegan dahsyat di Washington yang melibatkan Magneto, Professor X, dan Mystique (dan juga Wolverine yang melakukan perjalanan waktu). Film dibuka dengan adegan ribuan tahun lalu di Mesir, di mana ternyata nenek moyang para mutan sudah berada di sana, dan memiliki kemampuan layaknya dewa, berpindah dari satu inang ke inang lain, menyerap kemampuan mereka dan tertidur menantikan abdi-abdi setianya membangkitkan dirinya lewat mantra-mantra khusus. En Sabah Nur namanya, atau sebut saja Apocalypse (Oscar Isaac), yang mengklaim bahwa dirinya Tuhan. Sementara itu di tahun 1980an, Xavier/Professor X (James McAvoy) baru saja mengembangkan akademi khusus yang menampung para mutan, dengan Hank McCoy/Beast (Nicholas Hoult) sebagai asistennya (kebetulan saat itu Scott Summers/Cyclops (Tye Sheridan) baru aja masuk ke sana didampingi kakaknya, Alex Summers/Havok (Lucas Till) dan bertemu dengan Jean Grey (Sophie Turner), sebagai awal mula kisah asmara mereka kelak). En Sabah Nur berhasil dibangkitkan dan mencari empat orang pengikut setia yang akan membantunya menjalankan misi menata kembali dunia dengan kehancuran. Mereka yang terpilih adalah Erik Lehnsherr/Magneto (Michael Fassbender), Angel (Ben Hardy), Ororo Munroe/Storm (Alexandra Shipp), dan Psylocke (Olivia Munn). Sementara itu, Raven/Mystique (Jennifer Lawrence), Kurt Wagner/Nightcrawler (Kodi Smit-McPhee), dan Peter Maximoff/Quicksilver (Evan Peters) yang baru saja tiba di akademi Professor X menjadi ikut terlibat dan bekerja sama mengalahkan En Sabah Nur yang kebetulan mengincar Xavier untuk dijadikan inang selanjutnya. Berhasilkan En Sabah Nur? Seperti apa dahsyatnya kekuatan yang dia miliki? Well, untuk tahu lengkapnya silahkan ditonton sendiri ya!
Not-so-good script writing
Selayaknya film-film superhero lainnya, karakter baik bertarung melawan karakter jahat, ending-nya so pasti kebaikan selalu menang, namanya juga pahlawan~ You already know that, Guys, jadi kalo gue bilang tim X-Men menang pada akhirnya, itu bukan spoiler. But, hey, beberapa film superhero dikemas dengan alur cerita yang begitu seru sampai-sampai membuat penonton merasa tenggelam dan terhanyut ke dalam aliran kisahnya. Hal seperti itu bisa didapatkan pada X-MEN: DAYS OF FUTURE PAST (2014). Sayangnya, X-MEN: APOCALYPSE (2016) nggak berhasil menyedot perhatian gue lebih dari pada film pendahulunya tersebut. Salah siapa ini? Menurut gue kesalahan ada pada penulis, yang mana kurang bisa memanfaatkan dengan baik hal-hal potensial di dalamnya untuk menciptakan alur cerita yang lebih baik dan lebih kompleks. Minimal kalau memang mau memakai plot yang mediocre, sajikan adegan final battle yang lebih nendang, jadi setidaknya penonton akan tetap merasakan kepuasan. Adegan terus bergerak maju, bahkan menggunakan sebuah trope yang dinamakan "deus ex machina" untuk menyelesaikan sebuah masalah. Yaitu, dengan memanfaatkan Wolverine. Syukurlah fighting scene adegan Wolverine masih bisa dikatakan keren, tapi ya cuma sampai situ aja, karena Wolverine memang cuma jadi tokoh numpang lewat.
So much inconsistency in one film.
Yang paling mengecewakan adalah kekuatan En Sabah Nur yang kurang konsisten. Kalau di awal-awal pengenalan tokoh, En Sabah Nur ini bisa motong kepala beberapa orang sekaligus cuma dengan menggunakan pasir, lantas ke manakah kemampuan tersebut saat final battle tengah berlangsung? Ditambah empat mutan terpilih yang membantunya mengacaukan pola serangan X-Men, seharusnya bisa lebih mudah lagi memenggal kepala para X-Men. Apalagi setting final battle-nya di tempat yang sudah porak-poranda yang mana kalo butuh pasir atau batuan kecil, di sana banyak. Banyak. Sudah cek filmnya belom? #plak. En Sabah Nur nggak butuh mereka yang menghalangi rencananya menggunakan tubuh Xavier kan? Kalo memang pure evil, seharusnya lebih bersikap sadis tanpa pikir panjang berlebihan. Kekuatannya bagaikan dewa yang bisa menambahkan kekuatan mutan lain, kenapa nggak bisa melemahkan? Berhubung gue suka nulis cerita juga, gue tau betapa sulitnya menciptakan jalan cerita yang bagus untuk mengalahkan musuh yang overpower. Alhasil tanpa sadar jadi nge-downgrade kemampuan musuh demi bisa dikalahkan. Sayangnya, sekali lagi gue perjelas, di sini proses downgrade kemampuannya terasa terlalu jelas dan kasar.
Four Horsemen of the Apocalypse yang kelewat lemah
Gue nonton film ini berasa baper mikirin perasaan En Sabah Nur. Ketika di jaman dulu dirinya bisa ngumpulin abdi-abdi yang kuat, eh, di jaman sekarang malah cuma bisa ngumpulin empat abdi yang mana yang paling bisa dikatakan kuat banget cuma Magneto, sisanya biasa-biasa aja. Udah gitu, kekecewaan terbesar En Sabah Nur pastinya bukan hanya karena mereka lemah, tapi karena ... (cek sendiri filmnya) Hahaha. Yah, intinya ketebak lah ya, apalagi ada Storm di sana yang mana kita tahu pasti tempat terakhir Storm adanya di kubu Xavier. Lagian gue ngerasa ada yang aneh dengan X-Men kali ini. Seolah mutan yang ada di universe-nya cuma itu-itu aja. Kalo pakai logika, En Sabah Nur yang hendak menghancurkan dunia demi menciptakan dunia yang baru lagi, tentunya akan memilih mutan-mutan yang berkemampuan di atas rata-rata. Dari ribuan mutan yang tersebar di dunia, apakah En Sabah Nur nggak bisa nyari mutan yang paling mumpuni, seenggaknya yang lebih ngeri kemampuannya ketimbang Psylocke, Storm, and Angel. Karena memaksa memakai karakter-karakter tersebut, rasanya seolah universe X-Men ini nggak berkembang (Baca: karakternya itu-itu aja). Terlebih terlalu mudahnya empat abdi En Sabah Nur (who supposed to be loyal to him) berubah pikiran. Sampai di sini, gue langsung merasa, what the heck? Gitu doang? Ditambah sifat Magneto yang sering banget berpindah haluan, pola pikirnya berasa kayak remaja galau yang sibuk nyari pegangan hidup.
Pada akhirnya, yang bisa gue banggakan dari seri terakhir trilogi X-Men versi masa muda ini cuma kualitas CGI effect yang mengagumkan. Serius, untuk efek gue nggak bakal protes macem-macem karena keren banget. Ada satu adegan yang gue rasa bakal jadi most memorable moment di film ini, dan kebetulan dilakukan oleh karakter yang sama dengan seri pendahulunya, Yep, Quicksilver! Di luar dari adegan kemunculannya yang terlalu kebetulan banget berbarengan dengan insiden ledakan yang terjadi di akademi X-Men, adegan Quicksilver bener-bener seru sekaligus menghibur. Dengan kecepatannya dia menolong satu per satu orang-orang yang ada di dalam mansion agar tidak terkena ledakan, dan kocaknya doi selalu menyempatkan diri melakukan hal-hal konyol sebelum melakukannya. Padahal baru kemarin gue terhibur dengan rip-off Quicksilver versi Rovio yang dilakukan Chuck di film animasi THE ANGRY BIRDS MOVIE (2016), eh di sini malah ada karakter aslinya. Hehe.
Satu lagi yang cukup bikin gue terhibur adalah outfit/kostum Psylocke yang aduhai seksinya, terlebih saat fight scene. #Plak. By the way, yang jadi Jean Grey di sini dari tampangnya seolah cocok jadi pemeran Tris di DIVERGENT (2014) menggantikan Shailene Woodley. Just my thought~
NB: Kalau diperhatikan, X-Men kali ini dipenuhi warna biru. Coba tengok Mystique, Beast, and Nightcrawler~ Oh ya, jangan lewatin post-credit scene-nya ya, ada semacam easter egg yang bakal nge-lead ke film X-Men lainnya di masa mendatang, mungkin tentang X-Force.
Score: 7/10
0 Komentar
Halo, Sobat MovGeeks! Kalau kamu udah pernah atau pun belum menonton film ini, silakan sampaikan pendapatnya di kolom komentar, ya. Pergunakan bahasa yang sopan, tidak SARA atau mengandung pornografi. Dimohon juga untuk tidak meninggalkan link aktif, karena berpotensi SPAM.
Terima kasih ^__^)//
MovGeeks Team